resensi buku : mice cartoon - Indonesia 1998

Judul Buku : Mice Cartoon : Indonesia 1998
Katunis : Muhammad Mice Misrad
Resensi oleh : Winda Lestari
Tanggal : 13 Februari 2015

Wimar Witoelar berkata, “Satu gambar bercerita lebih dari seribu kata, maka satu kartun lebih dari sepuluh ribu gambar.” Saya setuju dengan kalimat yang beliau ungkapkan tersebut, suatu gambar jika ditambahkan dengan kalimat atau kata bisa memiliki cerita yang berbeda, kita bisa melihat banyak sudut pandang jika melihat satu gambar yang sama dengan penambahan kata yang berlainan. Contohnya ketika kita menggambar segitiga, jika dibawah gambar tersebut dituliskan kata gunung, kita langsung bisa terbayang gunung, jika gambar segitiga yang sama tersebut kita beri kata sirip ikan hiu di bawahnya, maka kita pun terbayang sirip ikan hiu, sudut pandang yang berbeda hanya dengan gambar segitiga yang sama! Begitu magisnya kekuatan gambar jika dikolaborasikan dengan kata-kata yang pintar seperti yang ada di komik buatan Muhammad Mice Misrad yang biasa dipanggil Mice ini.
Pada tahun 1997 Mice berkarir sebagai graphic designer di suatu perusahaan, tapi dia bekerja malas-malasan karena hal yang digambar olehnya pun hanya sesuai dengan permintaan perusahaan, dia ingin sekali menjadi komikus tetapi masih takut keluar dari perusahaannya karena memikirkan kenyamanan yang ditawarkan kepada seorang karyawan dari perusahaan tersebut. Pertengahan tahun 1997 banyak hal yang mulai berubah, seperti krisis yang mulai terjadi di Thailand dan membawa dampang yang besar bagi Indonesia.
Di komiknya ini Mice menampilkan kehidupan keseharian yang dihadapinya pada masa-masa tersebut, yakni tahun 1997-1999, beliau bertekad merekam kejadian saat itu melalui karya, yaitu membuat komik strip. Walaupun takut, akhirnya karyanya tetap diterbitkan dan menarik perhatian orang banyak. Guyonan-guyonan ringan namun menyentil mungkin bisa dirasakan lebih mendalam untuk orang yang benar-benar mengalami dampak pada tahun 1998 tersebut. Seperti lonjakan harga yang menjulang tinggi dan maraknya pengangguran dan anak jalanan pada saat itu. Makar, isu, dan demo adalah kata-kata yang sering diperbincangkan dan menjadi plesetan ketika rakyat saling berbicara satu sama lain. Pihak yang tidak mau meminta maaf pun disentil dan dituduh bahwa mereka adalah bagian dari partai Golkar karena pada saat itu Golkar lah yang paling ditunggu permintaan maafnya oleh masyarakat.
Buku ini berisi berbagai hal, seperti keluhan, lelucon, dan aktivitas yang dijalani ketika orde baru digulingkan dan krisis berlangsung. Menarik bagi yang ingin mengetahui sejarah dari sudut pandang masyarakat yang menjalani aktivitasnya sehari-hari dengan cara yang tidak memihak dan menggurui.

Comments

Popular posts from this blog

resensi buku : The Giving Tree

resensi buku : surat kopi - joko pinurbo

Menitipkan Matahari