resensi buku : ranah 3 warna

Bersabarlah dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di perut bumi dan di atas bumi
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian kan tercapai
Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh cari kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kaukatakan
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan
syair Sayyid Ahmad Hasyimi
Hal yang paling menarik dari buku trilogi negeri 5 menara adalah, sang penulis A. Fuadi, selalu menyisipkan syair-syair indah dari tokoh-tokoh di masa lampau. Syair yang diunggah di dalam buku kedua yakni Ranah 3 Warna kali ini bertema “man shabara zhafira”, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah, “siapa yang bersabar akan beruntung”.
Buku Ranah 3 Warna mengisahkan tentang perjalanan mimpi Alif setelah menamatkan pendidikannya di Pondok Madani (PM). Menduduki bangku kuliah bukanlah perkara mudah untuk seorang lulusan pesantren seperti Alif, belum lagi cemoohan yang menyerbu datang dari teman-temannya yang tentu saja menyangsikan bahwa Alif mampu menaklukkan soal UMPTN.
Mengejar ketertinggalan pendidikan 3 tahun di SMA dan hanya diberi waktu sedikit untuk mempelajarinya membuat Alif merasa frustasi. Tetapi hanya dengan mengingat nasihat Imam Syafi’i “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang” membuat Alif bangkit dan memutuskan untuk tidak menyerah.
Disaat lelah belajar, Alif membaca surat yang datang dari Baso, temanya semasa di PM dulu, Baso menulis seperti ini : “Alif, bagiku belajar adalah segalanya. Ini perintah Tuhan, perintah Rasul, perintah kemanusiaan. Bayangkan, kata-kata pertama wahyu yang diterima Rasulullah itu adalah Iqra. Bacalah. Itu artinya juga belajar. Makanya, aku akan terus mempraktikkan ajaran Rasul itu, bawa kita perlu belajar dari buaian sampai liang lahat. Mungkin kamu bingung dengan kegilaanku belajar, percayalah, tidak hanya aku yang gila. Ribuan tahun yang lalu, sekarang, dan di masa depan akan terus ada orang yang gila ilmu.”
Man yazra’ yashud, begitu bunyi pepatah yang diajarkan di PM. Siapa yang menanam akan menuai apa yang ditanam. Semua pandangan meremehkan dan belas kasihan yang disodorkan oleh teman-temannya telah lunas dibayar, 01579 – Alif Fikri, dengan gagah tercetak di koran pengumuman kelulusan UMPTN. Lulus! Alif pun bersiap menapaki jalan ke Bandung untuk mengenyam pendidikan Hubungan Internasional di Unpad.
Terpukul dengan kematian ayahnya ketika sedang menjalani masa perkuliahan, mengingatkan Alif pada pesan Kiai rais dulu, “Wahai anakku, latihlah diri kalian untuk selalu bertopang pada diri kalian sendiri dan Allah. I’timad ala nafsi. Segala hal dalam hidup ini tidak akan abadi. Semua akan pergi silih berganti. Kesusahan akan pergi, kesenangan akan hilang. Akhirnya hanya tinggal urusan kalian sendiri dengan Allah saja nanti.” Kepergian ayahanda membuat Alif bertekad untuk berhenti meminta uang kepada Amak – ibunya.
Segala pekerjaan pun Alif ambil demi keinginan terbesarnya untuk bisa mandiri. Dari mengajar privat sampai dengan berjualan parfum door-to-door dijalani oleh Alif sampai pada akhirnya Alif terbaring sakit tifus karena bekerja terlalu keras. Di dalam hati pun Alif mulai menyangsikan mantera man jadda wajadda yang selama ini selalu dipegang teguh olehnya. Kenapa nasib temannya yang tidak perlu bersusah payah semakin hari semakin membaik, sebaliknya nasibnya semakin hari semakin memburuk?
Alif melupakan mantera kedua, yaitu man shabara zhafira. Siapa yang bersabar maka akan beruntung. Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mencapai tujuan yang diimpikan. “Ya Allah, jadikanlah aku orang yang sabar dan beruntung”, ujar Alif di doanya. Hidup adalah masalah penyerahan diri, siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan mencukupkan segala kebutuhan kita. Bersabar tetapi tidak pasif, namun aktif bertahan, aktif menahan cobaan, aktif mencari solusi. Aktif menjadi yang terbaik. Aktif untuk tidak menyerah kepada keadaan. Sabar adalah punggung bukit terakhir sebelum sampai di tujuan.
Mengingat cita-citanya terdahulu untuk bersekolah di luar negeri membuat Alif kembali bersemangat. Setiap pameran pendidikan luar negeri selalu Alif datangi walaupun hanya bisa duduk tersenyum ketika mengetahui biaya yang ditawarkan. “Kalau kita kondisikan sedemikian rupa, impian itu lambat laun akan menjadi nyata. Pada waktu yang tidak pernah kita sangka-sangka,” begitu nasihat Ustad Salman kepada Alif dulu. Alif pun mencari cara untuk meraih cita-citanya yaitu dengan beasiswa.
Alhamdulillah, dengan keinginan teguh dan usaha yang keras, Alif pun berhasil menginjakkan kaki di bandara tarmac, Montreal sebelum mencapai tujuan utamanya ke Kanada. Alif pun tersenyum menanggapi segala keberuntungannya, bermodalkan hanya dengan berani bermimpi, segalanya terjadi, walaupun dulu tidak mengetahui cara menggapainya. Iza sadaqal azmu wadaha sabil. Kalau sudah jelas dan benar keinginan, akan terbukalah jalan.
Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu.

Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.

Comments

Popular posts from this blog

resensi buku : The Giving Tree

resensi buku : surat kopi - joko pinurbo

Menitipkan Matahari